Aku perkenalkan dulu para anggota Sparasbi, sebelum aku memulai ceritaku di masa SMA dulu.
Rasbi 01 = Abdul Wahid
Rasbi 02 = Anake Prima
Rasbi 03= Andry Badhar Dika
Rasbi 04= Ayu Triana
Rasbi 05 = Dewi Andriani
Rasbi 06= Fauzan Alawy
Rasbi 07= Holyza Handika
Rasbi 08= Insanu Muchlisa
Rasbi 09= Iolan Tri Handra
Rasbi 10 = Kevin Santoso
Rasbi 11= Lika Olytia
Rasbi 12= Muddia Ahmad
Rasbi 13= Nova Susanti Asjar
Rasbi 14= Novi Indi Pranoto
Rasbi 15= Okti Diana Suwardi
Rasbi 16= Rahmani Dyana Fitri
Rasbi 17= Rani Azhari
Rasbi 18= Risa Noviarti
Rasbi 19= Sartika Anggraini
Rasbi 20= Siska Amanda
Rasbi 21= Vino Tirtana Ramdhan
Rasbi 22= Wahyu Rahma Dilla
Rasbi 23= Wilda Warnis
Wali Kelas Sparasbi kelas X = Ibu Widyaningsih
Wali Kelas Sparasbi kelas XI= Ibu Maulida Patriana
Wali Kelas Sparasbi kelas XII= Ibu Desmirini
Pertama kali
aku menginjak kelas ini, serasa memasuki sebuah dimensi baru yang menuntut
ketabahan batinku untuk bertahan. Kelas ini begitu asing bagiku, padahal bentuk
dan strukturnya sama saja dengan kelas lain. Ada aura berbeda yang menekanku,
sehingga aku merasa janggal dan tak pantas . Ruangannya diberi karpet berwarna
biru, dengan gorden putih menjuntai sampai kebawah kusen jendela. Kipas angin
bertuliskan ‘sekai’ sudah berdiri dengan tegap didekat papan tulis putih.
Lemari baru yang dipenuhi buku pelajaran yang juga baru, sudah siap untuk
digunakan. Buku bertuliskan ‘billingual’ itu membuatku sangsi, betapa sulitnya
jika aku sudah resmi menjadi anggota kelas yang ‘berbeda’ ini.
Aku
menginjakkan kaki di karpet biru nan bagus itu, tentu saja sebelumnya aku sudah
melepas sepatu sebelum masuk kedalam. Berjalan selangkah, menatap pandangan
orang-orang yang lebih dulu masuk kesana. Mereka balas menatapku, dengan
pandangan yang tidak aku mengerti. Jantungku berdebar keras sekali saat itu.
Kurasakan hawa semakin panas, membuat keringatku bermunculan dipelipis. Aku tak
mau sedikitpun membuka mulut, mataku terus mencari tempat yang kosong untuk aku
tempati. Susunan bangku berbentuk huruf
u, membuatku mudah melihat kursi kosong. Dan akhirnya, aku duduk di pojok kanan
paling belakang , dekat dengan seorang murid perempuan yang super tinggi.
Aku duduk
dengan perasaan campur aduk, sambil memperhatikan semua sudut kelas yang
membuatku tertekan. Aku melihat sebuah cctv, alat pengintai satu-satunya
dikelasku yang terhubung langsung ke ruang kepala sekolah. Apa jadinya jika
anggota kelas ini melakukan hal ‘yang melanggar’? Tentu akan langsung terlihat
oleh kepala sekolah.
Untuk masuk
kekelas ini, butuh perjuangan dan dorongan dari orang tuaku. Awalnya, beberapa
murid dengan nilai UN SMP terbaik dipanggil sehabis MOS. Bu Yetma, selaku
pengurus mengumumkan kalau kami akan diseleksi untuk masuk sebuah kelas yang
istimewa. Pengumuman itu membuatku senang, sekaligus tidak percaya diri.
Dirumah, aku memberi tahu ibu dan bapak tentang pengumuman itu. Mereka sangat
antusias.
“ Masuk wi.
Kelas itu kan kelas istimewa. Bapak akan bangga sekali kalau anak bapak masuk
kelas istimewa seperti itu.” Kata bapakku dengan wajah berbinar-binar . Begitu
pula dengan ibuku.
Akhirnya, aku
putuskan untuk masuk seleksi. Adapun seleksinya adalah, wawancara dalam bahasa
inggris. Aku masuk ke ruangan khusus, yang pada akhirnya aku ketahui sebagai
ruang WAKA ( wakil kesiswaan). Dari situ, sudah menunggu empat orang guru yang
menatapku dengan ramah, namun tetap saja menimbulkan hawa mencekam. Inilah
saat-saat yang paling tidak aku suka. Saat-saat dimana aku gemetaran karena
saking deg-degan nya.
Beberapa saat,
mereka mulai menanyaiku dalam bahasa inggris.
“ What’s your
name, miss?” tanya seorang guru laki-laki paruh baya yang kelihatan
menakutkan.
“ My name is
Dewi, sir..” jawabku, sangat pelan.
“ Oh, dewi.
Where do you live”
“ In mata air, pasa dama.”
“ Pasa dama? Oh
yeah, I know it. And, where do you come from? I mean , your junior high school..”
“ SMP N 1
Tilkam, in Gadut, sir..”
Jawabanku masih
sangat kaku dan singkat sepeti jawaban anak SMP kelas satu yang baru belajar
Bahasa Inggris. Padahal banyak yang ingin aku sampaikan, tap gara-gara rasa
gugup sialan ini, tidak sedikitpun kata-kataku yang mengesankan para juri.
“ Ok..” jawab
seorang guru perempuan yang kelihatan jauh lebih ramah. Ia tersenyum lembut
padaku.
“ Dewi, what do
you want to be?” tanya guru itu, tersenyum lagi.
Aku berpikir
sejenak. Aku bahkan belum memikirkan cita-cita sampai saat ini . Au memikirkan
guru, tidak. Aku tidak suka. Presiden? Aku tidak berminat sama sekali. Direktur
perusahaan? Tidak pernah terpikir olehku. Dan satu-satunya ide yang muncul dari
kepala seorang yang gugup dan belum pernah memikirkan tentang cita-citanya
adalah pekerjaan paling berat yang menghasilkan banyak uang.
“Doctor,
ma’am.” Jawabku, ragu.
“ Almost all of
the contestant said that they want to be a doctor . Hahhaha.” Kata guru laki-laki yang bertanya padaku
tadi. Aku tersenyum kecut. Ternyata, para kontestan yang ain juga berpikiran
sama denganku. Aduuhh..
Selanjutnya,
mereka menyuruhku membaca sebuah teks bahasa inggris .Mungkin untuk menguji
bagaimana pronunctiation ku. Aku akui, pembacaan kata-kata bahasa inggrisku
cukup baik. Tapi, mungkin saja sainganku juga sama seperti ku, bahkan mungkin
lebih. Setelah itu, aku keluar dengan sangat lega. Test wawancara itu berlalu,
aku seperti terlepas dari beban yang beberapa hari lalu menghimpit pikiran ku.
Sebulan di kelas reguler, cukup membuatku
kenal dengan dua-tiga orang disana –aku termasuk orang yang susah berteman- Aku
mengenal Iolan yang juga masuk seleksi seperti ku, iwit, dan Syaiful. Sempat
mereka menertawakanku dengan Syaiful, sebagai pasangan hot di televisi yaitu
Syaiful jamil dan dewi persik. Aku cuek menanggapinya, tanpa aku sadari bahwa
orang yang dipasangkan denganlu itu merasakan hal yang lain, yang pada akhir
cerita akan membuat masalah.
Saat-saat
pertama di kelas ini, aku masih celingak celinguk kebingungan. Hanya Iolan,
Anis, dan Manda yang aku kenal di ruangan itu, dan selebihnya aku tidak tahu.
Ada tujuh orang laki-laki dikelas ini, yang pada awalnya tidak satupun yang
membuatku terkesan atau bahkan menghilangkan pikiranku dari sosok Rio. Dan ada
16 orang perempuan –termasuk aku- disini, dengan berbagai macam tipikal wajah,
cara berpakaian, sikap, dan lain-lain. Namun semua itu tidak penting sama
sekali dikelas ini karena otak adalah penentu. Semua diukur dari segi kemampuan
otak kami untuk mengolah semua yang diajarkan. Itu juga yang membuatku gamang
untuk masuk kelas berstandar internasional ini. Dari pancaran wajah, mereka
kelihatan pintar dan mempunyai pemikiran yang lebih jauh daripada pemikiran ku
–yang ada dipikiranku saat itu bagaimana aku bisa koleksi komik conan dengan
lengkap- Aku tidak dapat membayangkan apa yang akan terjadi jika kata-kata
bapakku terwukud. Bapak berkata,
“ Dewi,
pokoknya masuk saja kelas itu. Jadi rangking terakhirpun tidak apa-apa karena
semua anak-anaknya unggul! Rangking terakhir dikelas itu bisa jadi rangking
satu dikelas biasa.”
Aku pun
memutuskan untuk masuk kelas ini karena alasan bapak yang seperti itu. Jadi,
aku tidak ada beban –walaupun sebenarnya aku masih ingin mempertahankan juara
satuku di SMP dulu- untuk masuk kelas ini, setidaknya beban untuk jadi yang
terbaik.
Beberapa saat
kemudian, guru fisika masuk dengan gayanya yang masih anggun. Guru itu masih
muda, dan tampak cantik. Berbagai macam wejangan diberikannya karena kebetulan
dia adalah wali kelas kami. Belakangan aku ketahui nama guru itu adalah ibu
Widyaningsih dan panggilan populernya ‘bu widi’. Dia lucu, namun aku tidak akan
pernah menyangka apa yang akan terjadi selanjutnya dengan ibu ini setelah
beberapa kali pertemuan.
Pertama kali
yang dilakukan adalah pemilihan ketua kelas. Semua orang yang sudah saling
mengenal mencalonkan teman mereka yang di anggap layak jadi ketua. Au yang
tidak mengenal satu oangpun laki-laki di kelas itu , terpaksa menurut saja saat
mereka memilih kandidat. Diantara ke
tujuh cowo itu, yang rata-rata sok cuek, ada yang berasal dari luar sumatera
barat. Ada yan dari medan, duri, pekanbaru, bahkan jakarta. Tentu saja mereka
hanya mengerti bahasa indonesia. Aku yang malas berbahasa asing dilidahku, lebih
memilih diam dibanding berbicara dengan mereka.
Akhirnya, terpilih fauzan sebaga ketua kelas, Anake
wakil, dan Shanty bendahara. Aku tidak mengenal mereka, tapi entah mengapa aku
memilih mereka untuk jadi kandidat. Mungkin karena gaya mereka yang meyakinkan
untuk menjadi penyalur inspirasi kami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar