Rabu, 01 Februari 2012

Cerita SMA ku


Aku perkenalkan dulu para anggota Sparasbi, sebelum aku memulai ceritaku di masa SMA dulu.
Rasbi 01 = Abdul Wahid
Rasbi 02 = Anake Prima
Rasbi 03= Andry Badhar Dika
Rasbi 04= Ayu Triana
Rasbi 05 = Dewi Andriani
Rasbi 06= Fauzan Alawy
Rasbi 07= Holyza Handika
Rasbi 08= Insanu Muchlisa
Rasbi 09= Iolan Tri Handra
Rasbi 10 = Kevin Santoso
Rasbi 11= Lika Olytia
Rasbi 12= Muddia Ahmad
Rasbi 13= Nova Susanti Asjar
Rasbi 14= Novi Indi Pranoto
Rasbi 15= Okti Diana Suwardi
Rasbi 16= Rahmani Dyana Fitri
Rasbi 17= Rani Azhari
Rasbi 18= Risa Noviarti
Rasbi 19= Sartika Anggraini
Rasbi 20= Siska Amanda
Rasbi 21= Vino Tirtana Ramdhan
Rasbi 22= Wahyu Rahma Dilla
Rasbi 23= Wilda Warnis
Wali Kelas Sparasbi kelas X = Ibu Widyaningsih
Wali Kelas Sparasbi kelas XI= Ibu Maulida Patriana
Wali Kelas Sparasbi kelas XII= Ibu Desmirini




Pertama kali aku menginjak kelas ini, serasa memasuki sebuah dimensi baru yang menuntut ketabahan batinku untuk bertahan. Kelas ini begitu asing bagiku, padahal bentuk dan strukturnya sama saja dengan kelas lain. Ada aura berbeda yang menekanku, sehingga aku merasa janggal dan tak pantas . Ruangannya diberi karpet berwarna biru, dengan gorden putih menjuntai sampai kebawah kusen jendela. Kipas angin bertuliskan ‘sekai’ sudah berdiri dengan tegap didekat papan tulis putih. Lemari baru yang dipenuhi buku pelajaran yang juga baru, sudah siap untuk digunakan. Buku bertuliskan ‘billingual’ itu membuatku sangsi, betapa sulitnya jika aku sudah resmi menjadi anggota kelas yang ‘berbeda’ ini.
Aku menginjakkan kaki di karpet biru nan bagus itu, tentu saja sebelumnya aku sudah melepas sepatu sebelum masuk kedalam. Berjalan selangkah, menatap pandangan orang-orang yang lebih dulu masuk kesana. Mereka balas menatapku, dengan pandangan yang tidak aku mengerti. Jantungku berdebar keras sekali saat itu. Kurasakan hawa semakin panas, membuat keringatku bermunculan dipelipis. Aku tak mau sedikitpun membuka mulut, mataku terus mencari tempat yang kosong untuk aku tempati.  Susunan bangku berbentuk huruf u, membuatku mudah melihat kursi kosong. Dan akhirnya, aku duduk di pojok kanan paling belakang , dekat dengan seorang murid perempuan yang super tinggi.
Aku duduk dengan perasaan campur aduk, sambil memperhatikan semua sudut kelas yang membuatku tertekan. Aku melihat sebuah cctv, alat pengintai satu-satunya dikelasku yang terhubung langsung ke ruang kepala sekolah. Apa jadinya jika anggota kelas ini melakukan hal ‘yang melanggar’? Tentu akan langsung terlihat oleh kepala sekolah.
Untuk masuk kekelas ini, butuh perjuangan dan dorongan dari orang tuaku. Awalnya, beberapa murid dengan nilai UN SMP terbaik dipanggil sehabis MOS. Bu Yetma, selaku pengurus mengumumkan kalau kami akan diseleksi untuk masuk sebuah kelas yang istimewa. Pengumuman itu membuatku senang, sekaligus tidak percaya diri. Dirumah, aku memberi tahu ibu dan bapak tentang pengumuman itu. Mereka sangat antusias.
“ Masuk wi. Kelas itu kan kelas istimewa. Bapak akan bangga sekali kalau anak bapak masuk kelas istimewa seperti itu.” Kata bapakku dengan wajah berbinar-binar . Begitu pula dengan ibuku.
Akhirnya, aku putuskan untuk masuk seleksi. Adapun seleksinya adalah, wawancara dalam bahasa inggris. Aku masuk ke ruangan khusus, yang pada akhirnya aku ketahui sebagai ruang WAKA ( wakil kesiswaan). Dari situ, sudah menunggu empat orang guru yang menatapku dengan ramah, namun tetap saja menimbulkan hawa mencekam. Inilah saat-saat yang paling tidak aku suka. Saat-saat dimana aku gemetaran karena saking deg-degan nya.
Beberapa saat, mereka mulai menanyaiku dalam bahasa inggris.
“ What’s your name, miss?”  tanya seorang  guru laki-laki paruh baya yang kelihatan menakutkan.
“ My name is Dewi, sir..” jawabku, sangat pelan.
“ Oh, dewi. Where do you live”
 “ In mata air, pasa dama.”
“ Pasa dama? Oh yeah, I know it. And, where do you come from? I mean , your junior high school..” 
“ SMP N 1 Tilkam, in Gadut, sir..”
Jawabanku masih sangat kaku dan singkat sepeti jawaban anak SMP kelas satu yang baru belajar Bahasa Inggris. Padahal banyak yang ingin aku sampaikan, tap gara-gara rasa gugup sialan ini, tidak sedikitpun kata-kataku yang mengesankan para juri.
“ Ok..” jawab seorang guru perempuan yang kelihatan jauh lebih ramah. Ia tersenyum lembut padaku.
“ Dewi, what do you want to be?” tanya guru itu, tersenyum lagi.
Aku berpikir sejenak. Aku bahkan belum memikirkan cita-cita sampai saat ini . Au memikirkan guru, tidak. Aku tidak suka. Presiden? Aku tidak berminat sama sekali. Direktur perusahaan? Tidak pernah terpikir olehku. Dan satu-satunya ide yang muncul dari kepala seorang yang gugup dan belum pernah memikirkan tentang cita-citanya adalah pekerjaan paling berat yang menghasilkan banyak uang.
“Doctor, ma’am.” Jawabku, ragu.
“ Almost all of the contestant said that they want to be a doctor . Hahhaha.”  Kata guru laki-laki yang bertanya padaku tadi. Aku tersenyum kecut. Ternyata, para kontestan yang ain juga berpikiran sama denganku. Aduuhh..
Selanjutnya, mereka menyuruhku membaca sebuah teks bahasa inggris .Mungkin untuk menguji bagaimana pronunctiation ku. Aku akui, pembacaan kata-kata bahasa inggrisku cukup baik. Tapi, mungkin saja sainganku juga sama seperti ku, bahkan mungkin lebih. Setelah itu, aku keluar dengan sangat lega. Test wawancara itu berlalu, aku seperti terlepas dari beban yang beberapa hari lalu menghimpit pikiran ku.
 Sebulan di kelas reguler, cukup membuatku kenal dengan dua-tiga orang disana –aku termasuk orang yang susah berteman- Aku mengenal Iolan yang juga masuk seleksi seperti ku, iwit, dan Syaiful. Sempat mereka menertawakanku dengan Syaiful, sebagai pasangan hot di televisi yaitu Syaiful jamil dan dewi persik. Aku cuek menanggapinya, tanpa aku sadari bahwa orang yang dipasangkan denganlu itu merasakan hal yang lain, yang pada akhir cerita akan membuat masalah.

Saat-saat pertama di kelas ini, aku masih celingak celinguk kebingungan. Hanya Iolan, Anis, dan Manda yang aku kenal di ruangan itu, dan selebihnya aku tidak tahu. Ada tujuh orang laki-laki dikelas ini, yang pada awalnya tidak satupun yang membuatku terkesan atau bahkan menghilangkan pikiranku dari sosok Rio. Dan ada 16 orang perempuan –termasuk aku- disini, dengan berbagai macam tipikal wajah, cara berpakaian, sikap, dan lain-lain. Namun semua itu tidak penting sama sekali dikelas ini karena otak adalah penentu. Semua diukur dari segi kemampuan otak kami untuk mengolah semua yang diajarkan. Itu juga yang membuatku gamang untuk masuk kelas berstandar internasional ini. Dari pancaran wajah, mereka kelihatan pintar dan mempunyai pemikiran yang lebih jauh daripada pemikiran ku –yang ada dipikiranku saat itu bagaimana aku bisa koleksi komik conan dengan lengkap- Aku tidak dapat membayangkan apa yang akan terjadi jika kata-kata bapakku terwukud. Bapak berkata,
“ Dewi, pokoknya masuk saja kelas itu. Jadi rangking terakhirpun tidak apa-apa karena semua anak-anaknya unggul! Rangking terakhir dikelas itu bisa jadi rangking satu dikelas biasa.”
Aku pun memutuskan untuk masuk kelas ini karena alasan bapak yang seperti itu. Jadi, aku tidak ada beban –walaupun sebenarnya aku masih ingin mempertahankan juara satuku di SMP dulu- untuk masuk kelas ini, setidaknya beban untuk jadi yang terbaik.
Beberapa saat kemudian, guru fisika masuk dengan gayanya yang masih anggun. Guru itu masih muda, dan tampak cantik. Berbagai macam wejangan diberikannya karena kebetulan dia adalah wali kelas kami. Belakangan aku ketahui nama guru itu adalah ibu Widyaningsih dan panggilan populernya ‘bu widi’. Dia lucu, namun aku tidak akan pernah menyangka apa yang akan terjadi selanjutnya dengan ibu ini setelah beberapa kali pertemuan.
Pertama kali yang dilakukan adalah pemilihan ketua kelas. Semua orang yang sudah saling mengenal mencalonkan teman mereka yang di anggap layak jadi ketua. Au yang tidak mengenal satu oangpun laki-laki di kelas itu , terpaksa menurut saja saat mereka  memilih kandidat. Diantara ke tujuh cowo itu, yang rata-rata sok cuek, ada yang berasal dari luar sumatera barat. Ada yan dari medan, duri, pekanbaru, bahkan jakarta. Tentu saja mereka hanya mengerti bahasa indonesia. Aku yang malas berbahasa asing dilidahku, lebih memilih diam dibanding berbicara dengan mereka.
Akhirnya, terpilih fauzan sebaga ketua kelas, Anake wakil, dan Shanty bendahara. Aku tidak mengenal mereka, tapi entah mengapa aku memilih mereka untuk jadi kandidat. Mungkin karena gaya mereka yang meyakinkan untuk menjadi penyalur inspirasi kami.


Bersambung.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar